L
|
aki-laki itu duduk di kedai kopi milik pamanku,
yaitu Mocca's Cup. Setiap hari dia berada disana. Kecuali hari senin. Entah apa
yang membuatnya sering berada disana. Dia begitu serius dengan buku bacaannya,
sampai tidak memperdulikan kehadiranku disini, yang selalu memperhatikannya
dari jauh. Aku tidak pernah melihat seorang pun mengobrol dengannya, dia selalu
tampak sendiri. Aku memperhatikannya dari sekitar 5 bulan yang
lalu, aku sudah seperti penggemar rahasianya.
Ya,
memang aku menyukainya. Padahal aku sama sekali belum mengenalnya. Aneh memang
menyukai orang yang belum kukenal, tetapi inilah yang terjadi, aku menyukainya.
Aku berencana mengajaknya berkenalan setelah lulus SMA nanti, yaitu 1 bulan
lagi. Aku tidak sabar menunggu waktu itu tiba.
Setiap
pulang sekolah, aku menyempatkan diri ke Mocca's Cup untuk sekedar melihatnya.
Walaupun hanya setengah jam, karena aku harus bergegas pulang. Tetapi aku puas
sudah bisa melihatnya hari itu. Menurutku dia sangat tampan, dengan rambut
hitam dan hidung mancung, yang menambah sempurna penampilannya. Aku merasa dia
adalah laki-laki paling tampan yang pernah kutemui.
Oh
iya, aku lupa memperkenalkan diriku, namaku Quinn, aku tinggal bersama kedua
orang tuaku dan kakak perempuanku, yaitu kak Gwen. Aku hanya gadis SMA biasa,
tidak seperti kakakku yang sudah kuliah di Universitas favorit, dan berprofesi
sebagai model dan juga penulis. Menurutku dia jauh lebih sempurna dariku.
Terkadang aku ingin sepertinya. Tetapi aku jauh lebih cantik dibanding kak
Gwen, bukannya aku narsis, tetapi banyak yang mengatakan begitu.
Bagiku
sangat mudah sekali menaklukkan laki-laki, karena aku mempunyai modal
kecantikan dan kepintaran. Tetapi aku tidak pernah mendekati laki-laki terlebih
dahulu, maka aku agak gugup untuk mengajak laki-laki itu berkenalan. Aku yakin
bisa menaklukkan laki-laki itu, karena tidak ada yang pernah menolakku.
Hari
yang kunanti tiba, aku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, dan sepulang
dari acara kelulusan, aku berencana ke Mocca's Cup.
Sesampainya
di Mocca's Cup, dadaku berdegup kencang. Saat-saat yang kunanti akhirnya tiba
juga. Aku melihat laki-laki itu sedang duduk sambil membaca bukunya. Lalu aku
langsung menghampiri Pamanku dan memeluknya.
“Paman
aku lulus!” Jeritku.
“Selamat
ya Quinn,
Paman ikut senang. Bagaimana dengan nilaimu?” Tanyanya.
“Bagus
dong Paman! Aku kan tidak pernah mengecewakan.” Kataku sambil mencuri pandang
ke laki-laki tersebut.
“Kalau
begitu kamu boleh makan apa saja yang ada disini, gratis!” Tawar Paman.
“Yang
benar Paman? Ah.. tapi bagaimana kalau aku sekalian membantu Paman?” Tawarku.
“Ya
boleh-boleh saja, lakukan saja apa yang kamu inginkan. Paman tinggal dulu ya.”
Aku
tersenyum “Oke Paman, terima kasih.”
Karena
haus, aku langsung membuat Milkshake sendiri dan langsung menghabiskannya.
Melihat laki-laki itu belum memesan, aku langsung mengambil daftar menu.
“Ada
yang bisa saya bantu?” Sambil menyodorkan daftar menu.
Dia
melirikku, lalu menatapku. Kami saling berpandangan selama beberapa detik. Aku
rasa dia terpesona padaku.
“Oh..
Hmm Mocca Latte dan Hot Dog.” Sambil terus menatapku.
“Baik.
Tunggu sebentar.” Ucapku ramah.
Beberapa
saat kemudian, aku kembali dengan membawa pesanannya.
“Ini
pesanan Anda Tuan.” Kataku.
“Ya
terima kasih. Jangan panggil aku Tuan, panggil saja Radit.”
“Oh,
baiklah Radit.”
“Hmm..
maukah kamu menemaniku sebentar? Ucapnya sedikit ragu.
“Dengan
senang hati.” Kataku ambil tersenyum.
Rasanya
sangat senang sekali, akhirnya aku bisa berkenalan dengannya. Perkiraanku
benar, sangat mudah untuk menaklukkannya. Kami duduk berhadapan, dan saling
bertukar cerita tentang kehidupan kami
masing-masing. Ternyata dia orang yang humoris dan romantis. Benar-benar tipe
pria idamanku. Tiba-tiba ada seorang wanita yang menghampiri kami.
“Hai
sayang, sudah lama nunggu ya? Maaf ya, tadi aku ada ujian dulu,” Sambil memeluk
Radit.
Ha?
Apa aku tidak salah lihat? Bukankah itu kak Gwen? Apa mereka pacaran? Banyak
pertanyaan yang muncul dalam benakku. Aku hanya bisa tertegun melihatnya.
“Lho
Quinn kok kamu disini?” Tanya kak Gwen setelah melihatku.
“Emm,
iya kak, aku membantu Paman. Kakak pacarnya kak Radit?” Desakku.
“Gwen
dia..”
“Iya
Dit, dia adek aku. Dek ini pacar kakak, kak Radit. Pacar kakak yang sering
kakak ceritain ke kamu. Maaf ya kamu baru bisa ketemu sekarang, soalnya dia
sibuk banget sama kuliahnya di luar negri. Oh iya Quinn selamat ya atas
kelulusanmu!” Potong kak Gwen.
Aku
tidak bisa berkata-kata lagi, ternyata lelaki yang selama ini di ceritakan kak
Gwen adalah kak Radit, hatiku hancur. Kenapa harus kak Gwen? Selalu saja dia
mendapatkan apa yang dia mau. Sirna sudah harapanku. Apa ini hasil dari
perjuanganku selama ini? Apa secepat ini kebahagiaan yang aku rasakan di ambil
begitu saja?
“Hei
dek! Kok ngelamun?” kejut kak Gwen.
“Nggak
kok kak, cuma kaget aja. Hehe.” Elakku.
“Hehe.
Eh sayang aku bawa contoh undangan buat pernikahan kita nanti. Menurut kamu
bagus yang mana? Hijau atau silver?” Sambil mengeluarkan beberapa contoh
undangan dari tas kak Gwen.
“Bagus
yang silver. Sudah yang itu saja.” ucap kak Radit.
Mereka
mau menikah? Kenapa secepat itu? Mereka menyebalkan. Rasanya aku ingin menangis
sekencang-kencangnya. Ini tidak adil untukku.
“Dek,
kamu mau kan bantu kak Gwen nyiapin pernikahan kakak.”
“Iya
kak, aku mau. Kak aku pulang dulu ya. Capek nih.”
“Nggak bareng kita aja?” Tawar kak Radit.
“Nggak bareng kita aja?” Tawar kak Radit.
“Makasih
kak. Tapi aku lagi pengen sendiri.” Ucapku kasar.
Aku
langsung pergi meninggalkan mereka. Setelah aku keluar dari Mocca's Cup, air
mataku keluar tanpa henti. Aku langsung pulang kerumah dan mengurung diri di
kamar. Aku sangat kecewa. Aku baru tahu ini yang dinamakan patah hati. Aku
belum pernah merasakan rasa ini sebelumnya.
Beberapa
jam kemudian, aku mendapat SMS
dari kak Radit. Yang isinya mengajakku bertemu di taman dekat Mocca's Cup,
pukul 7 malam. Aku pun menyanggupinya.
Tepat
pukul 7 malam, aku bergegas ke taman. Setibannya disana, aku melihat kak Radit
duduk di bangku taman. Lalu aku bergegas menghampirinya.
“Hai
kak!” Sapaku.
“Eh
Quinn, sudah datang rupanya.”
Aku
hanya tersenyum. Kami pun berdiam diri selama beberapa saat. Lalu aku mulai
membuka pembicaraan.
“Kenapa
mengajakku bertemu kak?”
“Sebenarnya
ada yang mau aku sampaikan.” Sambil menggenggam tanganku.
“Apa
kak?”
“Aku...
Aku suka sama kamu. Mungkin kamu aneh mendengarnya. Karena aku ini pacar
kakakmu. Hmm, Aku juga ingin tau perasaanmu.”
Aku bingung harus
berkata apa. Karena aku juga suka padanya. Tapi karena dia pacar kakakku, maka
aku berusaha untuk menutupi perasaanku.
“Perasaanku
ke kak Radit biasa aja. Sudah lah kak, aku ini calon adik iparmu, lupakan
perasaan itu.” Elakku.
“Quinn kamu jangan bohong. Aku
tahu sebenarnya kamu juga menyukaiku. Kalau tidak, mana mungkin kamu setiap
pulang sekolah datang ke Mocca's Cup hanya untuk melihatku. Sudahlah Quinn,
jangan mengelak. Tapi aku suka sama kamu. Aku tahu ini tidak pantas
kuucapkan. Apalagi aku akan segera menikahi kak Gwen.”
“Tapi
kak aku benar-benar tidak men...”
Dia
langsung memotong perkataanku dengan memelukku. Senang rasanya dia juga
menyukaiku. Tapi aku merasa bersalah dengan kak Gwen. Tapi tak apalah, toh yang
akan dinikahi kak Radit kak Gwen, bukan aku.
Aku
dan kak Radit memiliki hubungan yang spesial. Kami banyak menghabiskan waktu
bersama. Aku sangat mencintainya, begitupun sebaliknya.
Suatu
hari, kak Radit dan kak Gwen sedang mendaftar tamu undangan pernikahan mereka
di rumahku. Aku melihat mereka dari kejauhan, mereka terlihat sangat mesra. Aku
cemburu melihatnya. Kak Radit yang melihatku daritadi melamun dan memperhatikan
mereka dari meja makan pun menghampiriku.
“Hei!
Kamu bengong?” Kagetnya.
“Eh
kak Radit, ngagetin aja. Ngapain kesini? Udah sana balik” Paksaku sambil
mendorongnya.
“Nggak
mau, aku mau disini. Eh Quinn
kamu
cemburu ya? Hahaha” Candanya.
“Ih,
ngapain cemburu. Hahaha. Udah sana balik, nanti
kak Gwen curiga lho.”
“Huu..
Nggak mau ngaku. Oke aku pergi.”
“Ya
udah sana cepet.”
“Iya
iya. Eh ntar malam jalan yuk, kita ketemuan di taman dekat Mocca's Cup.”
Aku
mengiyakan ajakannya dengan tersenyum. Lalu dia membalas senyumanku dan
langsung menghampiri kak Gwen.
Malam
pun tiba. Aku bertemu dengan kak Radit di taman. Dia terlihat begitu tampan
dengan jaket jeans yang ia kenakan. Kami duduk bersebelahan di kursi taman. Aku
pun membuka pembicaraan.
“Kita
susah banget ya kalau mau ketemu, pake acara ngumpet-ngumpet segala.” Kataku.
“Iya,
yang penting kan kita bisa ketemu sayang.” Ucapnya.
Kami
pun diam sejenak.
“Coba
aja aku kenal kamu lebih dulu di banding kak Gwen. Pasti sekarang kita yang mau
menikah.” Ucapnya sambil menggenggam tanganku.
Aku
hanya bisa tersenyum. Seandainya apa yang kak Radit ucapkan itu bisa menjadi
kenyataan. Terbesit di benakku untuk merebut kak Radit dari kak Gwen. Tapi
pikiran itu langsung ku buang jauh-jauh dari benakku. Sangat kejam kalau aku
sampai melakukannya pada kak Gwen.
Hari
demi hari aku jalani dengan kak Radit yang sangat aku cintai. Aku merasa
hari-hariku penuh warna denganya. Tapi semua itu berubah ketika menjelang hari
pernikahan mereka. Kak Radit dan kak Gwen mulai sibuk dengan pernikahan mereka.
Bahkan, kak Radit dan aku menjadi jarang bertemu. Egois memang jika aku marah
dengan mereka. Tapi aku belum rela jika mereka menikah.
Pada
malam harinya, aku melihat kak Gwen mencoba gaun pernikahannya. Gaun warna putih yang
sangat indah. Seandainya aku yang menggunakannya dan aku juga yang akan
bersanding dengan kak Radit.
“Kak
aku boleh masuk?” Tanyaku.
“Boleh.
Ayo sini. Dek menurut kamu baju kakak bagus nggak?”
“Bagus
kok kak. Kakak juga kelihatan cantik banget.”
“Kakak
jadi nggak sabar nunggu. Pengen cepat-cepat menikah dengan orang yang kakak
cintai dan memilikinya untuk selamanya. Tapi kakak jadi sedih harus pisah sama
kamu. Nanti nggak ada yang cerewet lagi.” Katanya sambil menangis.
“Tinggal
tiga hari lagi kan Kak, sabar dong, bentar lagi. Kakak itu beruntung banget
dapet kak Radit, jadi jangan sedih dong. Aku kan masih bisa main ke rumah
kakak. Aku jadi ikut nangis kan, kakak sih.”
Aku
pun ikut mengangis. Aku menangis karena dua hal, yaitu karena aku akan berpisah
dengan kak Gwen dan aku juga
akan berpisah dengan kak Radit. Dua orang yang sangat aku sayangi. Mungkin
memang mereka ditakdirkan untuk bersatu.
Aku
mengurung diri di kamar. Sakit rasanya melihat orang yang aku cintai menikah
dengan orang lain. Aku hanya bisa menangis. Tiba-tiba aku sadar akan rasa
egoisku selama ini dan juga pengkhianatanku terhadap kakakku sendiri. Tangisku
pun terhenti, aku memutuskan menghubungi kak Radit untuk mengajaknya pergi besok.
“Halo
kak Radit, besok ketemuan yuk.” Kataku bersemangat.
“Eh
sayang, tumben kamu ngajak aku ketemu duluan. Ada apa nih?” Tanyanya heran.
“Aku
kan kangen banget sama kamu sayang. Tapi aku maunya kamu seharian penuh nemenin
aku ya. Sekalian ada yang mau aku omongin.”
“Iya sayang, aku juga kangen banget sama kamu. Iya deh, apa sih yang nggak buat kamu. Emang mau ngomong apa? Kok kayaknya serius banget?”
“Tunggu aja besok. Udah dulu ya, udah malem nih. Dah sayang.”
“Iya sayang, aku juga kangen banget sama kamu. Iya deh, apa sih yang nggak buat kamu. Emang mau ngomong apa? Kok kayaknya serius banget?”
“Tunggu aja besok. Udah dulu ya, udah malem nih. Dah sayang.”
“Oke
sayang.”
Kututup
pembicaraanku dengan kak Radit malam itu. Aku sudah memutuskan untuk mengakhiri
hubunganku dengannya dan akan mengatakan padanya besok. Berat sekali rasanya,
tapi memang cinta butuh pengorbanan.
Keesokan
harinya, aku bangun lebih pagi untuk bertemu dengan kak Radit. Aku ingin
menjadikan hari ini menjadi hari yang spesial dan juga sebagai hari terakhirku
menjadi pacar kak Radit.
Kak
Radit sudah menungguku di depan rumah. Aku pun langsung menghampirinya dan
segera masuk ke mobilnya.
“Selamat
pagi sayang. Kita mau kemana sekarang?” Sapanya.
“Kemana
aja deh. Yang penting sama kamu.” Candaku.
“Bisa
aja kamu. Ya udah kita ke Mocca's Cup dulu terus jalan-jalan keliling kota ya.”
“Boleh.
Kak aku minta jadiin hari ini hari spesial kita ya.” Pintaku.
“Oke
sayang.”
Kami
jalan-jalan ke hampir semua tempat wisata di kota kami. Kami juga mengabadikan
momen tersebut dengan berfoto bersama. Senang sekali rasanya, bisa menghabiskan
waktu bersama kak Radit. Kami berjalan-jalan dari pagi hari hingga malam hari.
Pada malam harinya, kami memutuskan untuk pergi ke taman dekat Mocca's Cup.
“Capek
banget nih kak.” Ucapku.
“Aku
sih nggak capek.” Jawabnya sambil tersenyum.
“Yang
bener? Kan kita habis keliling kota. Masa nggak capek?”
“Nggak
dong. Kan jalan-jalannya sama kamu, jadi nggak berasa capeknya. Haha”
“Ih, gombal banget.
Hahaha.” Kataku sambil tertawa.
Kami pun diam untuk
beberapa saat. Lalu aku membuka pembicaraan.
“Duh
besok ada yang mau nikah ni.” Godaku.
“Hmm.
Quinn kamu nggak marah kan?”
“Ya
nggak lah. Ngapain aku marah. Aku nggak punya hak buat marah.” Ucapku sambil
tersenyum.
“Bener?”
“Iya
kak. Hmm..
kak Radit, kelihatannya lebih baik kita akhiri saja hubungan kita.”
“Lho emang kenapa Quinn?”
“Lho emang kenapa Quinn?”
“Kita
sudah terlalu jauh kak. Kakak juga akan menikah dengan kak Gwen kan besok. Aku tidak mau
manyakiti kak Gwen lebih dalam lagi kak. Aku sudah terlalu jahat dengan kak
Gwen. Aku bukan adik yang baik.” Tangisku.
“Sudah
Quinn kamu jangan menangis. Kakak yang salah, selama ini kakak terlalu egois.
Kakak nggak mikirin perasaan kak Gwen. Kamu nggak salah kok.”
Aku
tidak menjawab, aku hanya menangis. Lalu kak Radit memelukku.
“Aku
sayang kak Radit.” Ucapku lirih.
“Aku
juga sayang kamu Quinn. Makasih buat semuanya ya.”
Kak
Radit mengantarku pulang. Sesampainya dirumah, aku langsung masuk ke kamar. Aku
menangis tanpa henti. Jujur aku belum rela melepaskannya, menurutku dia sangat
sempurna. Aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa ini adalah hari terakhirku
untuk menangisi kak Radit. Ya memang cinta tidak harus memiliki. Maka dari itu,
aku akan mencoba untuk melupakan kak Radit dan merelakannya.
Keesokan
harinya, aku terbangun karena suara gaduh dari luar. Ya hari ini adalah hari
pernikahan mereka. Aku pun segera membersihkan diri dan berdandan. Aku harus
siap dengan apapun yang akan terjadi hari ini. Selesai berdandan, aku keluar
dari kamar dan mulai membantu.
Beberapa
jam kemudian acara pernikahan mereka dimulai. Mereka pun mulai menyematkan
cincin di jari pasangan mereka. Sebelum kak Radit menyematkan cincin di jari kak
Gwen, dia melihat ke arahku. Aku pura-pura tidak melihat dan terus tersenyum.
Dan resmilah mereka menjadi pasangan suami istri. Hatiku terasa seperti
teriris. Tetapi aku berusaha untuk tegar dan merelakannya.
Beberapa
hari setelah pernikahan mereka, aku memutuskan untuk mengambil beasiswa di
Jerman. Aku memilih tempat yang jauh dari mereka agar aku bisa melupakan kak
Radit dan juga untuk menenangkan hatiku. Awalnya orang tuaku tidak mengizinkan
karena menurut mereka Jerman terlalu jauh. Tapi setelah kubujuk, akhirnya aku
diizinkan untuk kesana. Kak Radit mengetahui alasanku yang sebenarnya, maka dia
berusaha untuk membujukku agar tetap disini. Namun aku beralasan lain dan
selalu menghindar darinya. Aku berangkat ke Jerman dengan hati yang hancur dan aku
berharap setelah aku kembali ke Indonesia, hatiku sudah pulih kembali.
Sesampainya
di Jerman, aku berharap memiliki kehidupan yang baru. Aku mempunyai teman
laki-laki yang juga pelajar dari Indonesia disini, Rio namanya. Beberapa bulan
kemudian aku dan Rio resmi menjadi sepasang kekasih. Dia adalah pria yang baik
dan juga tampan, ada beberapa kemiripan yang dimiliki Rio yang sama dengan kak
Radit. Tapi yang terpenting sekarang adalah aku sangat bahagia bersama Rio dan
rencananya kami akan segera bertunangan. Akhirnya aku dan kak Radit sama-sama
menemukan pendamping hidup yang kami cintai dan juga mencintai kami.
~SELESAI~
By : Almira Diva
Tidak ada komentar:
Posting Komentar