Welcome to almiradiva.blogspot.com

Kamis, 06 Desember 2012

Pacar Kakakku, Kekasihku


L
aki-laki itu duduk di kedai kopi milik pamanku, yaitu Mocca's Cup. Setiap hari dia berada disana. Kecuali hari senin. Entah apa yang membuatnya sering berada disana. Dia begitu serius dengan buku bacaannya, sampai tidak memperdulikan kehadiranku disini, yang selalu memperhatikannya dari jauh. Aku tidak pernah melihat seorang pun mengobrol dengannya, dia selalu tampak sendiri.  Aku memperhatikannya dari sekitar 5 bulan yang lalu, aku sudah seperti penggemar rahasianya.

          Ya, memang aku menyukainya. Padahal aku sama sekali belum mengenalnya. Aneh memang menyukai orang yang belum kukenal, tetapi inilah yang terjadi, aku menyukainya. Aku berencana mengajaknya berkenalan setelah lulus SMA nanti, yaitu 1 bulan lagi. Aku tidak sabar menunggu waktu itu tiba.


          Setiap pulang sekolah, aku menyempatkan diri ke Mocca's Cup untuk sekedar melihatnya. Walaupun hanya setengah jam, karena aku harus bergegas pulang. Tetapi aku puas sudah bisa melihatnya hari itu. Menurutku dia sangat tampan, dengan rambut hitam dan hidung mancung, yang menambah sempurna penampilannya. Aku merasa dia adalah laki-laki paling tampan yang pernah kutemui.

          Oh iya, aku lupa memperkenalkan diriku, namaku Quinn, aku tinggal bersama kedua orang tuaku dan kakak perempuanku, yaitu kak Gwen. Aku hanya gadis SMA biasa, tidak seperti kakakku yang sudah kuliah di Universitas favorit, dan berprofesi sebagai model dan juga penulis. Menurutku dia jauh lebih sempurna dariku. Terkadang aku ingin sepertinya. Tetapi aku jauh lebih cantik dibanding kak Gwen, bukannya aku narsis, tetapi banyak yang mengatakan begitu.

          Bagiku sangat mudah sekali menaklukkan laki-laki, karena aku mempunyai modal kecantikan dan kepintaran. Tetapi aku tidak pernah mendekati laki-laki terlebih dahulu, maka aku agak gugup untuk mengajak laki-laki itu berkenalan. Aku yakin bisa menaklukkan laki-laki itu, karena tidak ada yang pernah menolakku.

          Hari yang kunanti tiba, aku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan, dan sepulang dari acara kelulusan, aku berencana ke Mocca's Cup.

          Sesampainya di Mocca's Cup, dadaku berdegup kencang. Saat-saat yang kunanti akhirnya tiba juga. Aku melihat laki-laki itu sedang duduk sambil membaca bukunya. Lalu aku langsung menghampiri Pamanku dan memeluknya.
          “Paman aku lulus!” Jeritku.
          “Selamat ya Quinn, Paman ikut senang. Bagaimana dengan nilaimu?” Tanyanya.
          “Bagus dong Paman! Aku kan tidak pernah mengecewakan.” Kataku sambil mencuri pandang ke laki-laki tersebut.
          “Kalau begitu kamu boleh makan apa saja yang ada disini, gratis!” Tawar Paman.
          “Yang benar Paman? Ah.. tapi bagaimana kalau aku sekalian membantu Paman?” Tawarku.
          “Ya boleh-boleh saja, lakukan saja apa yang kamu inginkan. Paman tinggal dulu ya.”
          Aku tersenyum “Oke Paman, terima kasih.”

          Karena haus, aku langsung membuat Milkshake sendiri dan langsung menghabiskannya. Melihat laki-laki itu belum memesan, aku langsung mengambil daftar menu.
          “Ada yang bisa saya bantu?” Sambil menyodorkan daftar menu.
          Dia melirikku, lalu menatapku. Kami saling berpandangan selama beberapa detik. Aku rasa dia terpesona padaku.
          “Oh.. Hmm Mocca Latte dan Hot Dog.” Sambil terus menatapku.
          “Baik. Tunggu sebentar.”  Ucapku ramah.

          Beberapa saat kemudian, aku kembali dengan membawa pesanannya.
          “Ini pesanan Anda Tuan.” Kataku.
          “Ya terima kasih. Jangan panggil aku Tuan, panggil saja Radit.”
          “Oh, baiklah Radit.”
          “Hmm.. maukah kamu menemaniku sebentar? Ucapnya sedikit ragu.
          “Dengan senang hati.” Kataku ambil tersenyum.

          Rasanya sangat senang sekali, akhirnya aku bisa berkenalan dengannya. Perkiraanku benar, sangat mudah untuk menaklukkannya. Kami duduk berhadapan, dan saling bertukar cerita tentang kehidupan kami masing-masing. Ternyata dia orang yang humoris dan romantis. Benar-benar tipe pria idamanku. Tiba-tiba ada seorang wanita yang menghampiri kami.
          “Hai sayang, sudah lama nunggu ya? Maaf ya, tadi aku ada ujian dulu,” Sambil memeluk Radit.
          Ha? Apa aku tidak salah lihat? Bukankah itu kak Gwen? Apa mereka pacaran? Banyak pertanyaan yang muncul dalam benakku. Aku hanya bisa tertegun melihatnya.
          “Lho Quinn kok kamu disini?” Tanya kak Gwen setelah melihatku.
          “Emm, iya kak, aku membantu Paman. Kakak pacarnya kak Radit?” Desakku.
          “Gwen dia..”
          “Iya Dit, dia adek aku. Dek ini pacar kakak, kak Radit. Pacar kakak yang sering kakak ceritain ke kamu. Maaf ya kamu baru bisa ketemu sekarang, soalnya dia sibuk banget sama kuliahnya di luar negri. Oh iya Quinn selamat ya atas kelulusanmu!” Potong kak Gwen.

          Aku tidak bisa berkata-kata lagi, ternyata lelaki yang selama ini di ceritakan kak Gwen adalah kak Radit, hatiku hancur. Kenapa harus kak Gwen? Selalu saja dia mendapatkan apa yang dia mau. Sirna sudah harapanku. Apa ini hasil dari perjuanganku selama ini? Apa secepat ini kebahagiaan yang aku rasakan di ambil begitu saja?
          “Hei dek! Kok ngelamun?” kejut kak Gwen.
          “Nggak kok kak, cuma kaget aja. Hehe.” Elakku.
          “Hehe. Eh sayang aku bawa contoh undangan buat pernikahan kita nanti. Menurut kamu bagus yang mana? Hijau atau silver?” Sambil mengeluarkan beberapa contoh undangan dari tas kak Gwen.
          “Bagus yang silver. Sudah yang itu saja.” ucap kak Radit.

          Mereka mau menikah? Kenapa secepat itu? Mereka menyebalkan. Rasanya aku ingin menangis sekencang-kencangnya. Ini tidak adil untukku.
          “Dek, kamu mau kan bantu kak Gwen nyiapin pernikahan kakak.”
          “Iya kak, aku mau. Kak aku pulang dulu ya. Capek nih.”
          “Nggak bareng kita aja?” Tawar kak Radit.
          “Makasih kak. Tapi aku lagi pengen sendiri.” Ucapku kasar.

          Aku langsung pergi meninggalkan mereka. Setelah aku keluar dari Mocca's Cup, air mataku keluar tanpa henti. Aku langsung pulang kerumah dan mengurung diri di kamar. Aku sangat kecewa. Aku baru tahu ini yang dinamakan patah hati. Aku belum pernah merasakan rasa ini sebelumnya.

          Beberapa jam kemudian, aku mendapat SMS dari kak Radit. Yang isinya mengajakku bertemu di taman dekat Mocca's Cup, pukul 7 malam. Aku pun menyanggupinya.

          Tepat pukul 7 malam, aku bergegas ke taman. Setibannya disana, aku melihat kak Radit duduk di bangku taman. Lalu aku bergegas menghampirinya.
          “Hai kak!” Sapaku.
          “Eh Quinn, sudah datang rupanya.”
          Aku hanya tersenyum. Kami pun berdiam diri selama beberapa saat. Lalu aku mulai membuka pembicaraan.
          “Kenapa mengajakku bertemu kak?”
          “Sebenarnya ada yang mau aku sampaikan.” Sambil menggenggam tanganku.
          “Apa kak?”
          “Aku... Aku suka sama kamu. Mungkin kamu aneh mendengarnya. Karena aku ini pacar kakakmu. Hmm, Aku juga ingin tau perasaanmu.”
         
Aku bingung harus berkata apa. Karena aku juga suka padanya. Tapi karena dia pacar kakakku, maka aku berusaha untuk menutupi perasaanku.
          “Perasaanku ke kak Radit biasa aja. Sudah lah kak, aku ini calon adik iparmu, lupakan perasaan itu.” Elakku.
          “Quinn kamu jangan bohong. Aku tahu sebenarnya kamu juga menyukaiku. Kalau tidak, mana mungkin kamu setiap pulang sekolah datang ke Mocca's Cup hanya untuk melihatku. Sudahlah Quinn, jangan mengelak. Tapi aku suka sama kamu. Aku tahu ini tidak pantas kuucapkan. Apalagi aku akan segera menikahi kak Gwen.”
          “Tapi kak aku benar-benar tidak men...”
          Dia langsung memotong perkataanku dengan memelukku. Senang rasanya dia juga menyukaiku. Tapi aku merasa bersalah dengan kak Gwen. Tapi tak apalah, toh yang akan dinikahi kak Radit kak Gwen, bukan aku.

          Aku dan kak Radit memiliki hubungan yang spesial. Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Aku sangat mencintainya, begitupun sebaliknya.

          Suatu hari, kak Radit dan kak Gwen sedang mendaftar tamu undangan pernikahan mereka di rumahku. Aku melihat mereka dari kejauhan, mereka terlihat sangat mesra. Aku cemburu melihatnya. Kak Radit yang melihatku daritadi melamun dan memperhatikan mereka dari meja makan pun menghampiriku.
          “Hei! Kamu bengong?” Kagetnya.
          “Eh kak Radit, ngagetin aja. Ngapain kesini? Udah sana balik” Paksaku sambil mendorongnya.
          “Nggak mau, aku mau disini. Eh Quinn kamu cemburu ya? Hahaha” Candanya.
          “Ih, ngapain cemburu. Hahaha. Udah sana balik, nanti kak Gwen curiga lho.”
          “Huu.. Nggak mau ngaku. Oke aku pergi.”
          “Ya udah sana cepet.”
          “Iya iya. Eh ntar malam jalan yuk, kita ketemuan di taman dekat Mocca's Cup.”
          Aku mengiyakan ajakannya dengan tersenyum. Lalu dia membalas senyumanku dan langsung menghampiri kak Gwen.

          Malam pun tiba. Aku bertemu dengan kak Radit di taman. Dia terlihat begitu tampan dengan jaket jeans yang ia kenakan. Kami duduk bersebelahan di kursi taman. Aku pun membuka pembicaraan.
          “Kita susah banget ya kalau mau ketemu, pake acara ngumpet-ngumpet segala.” Kataku.
          “Iya, yang penting kan kita bisa ketemu sayang.” Ucapnya.
          Kami pun diam sejenak.
          “Coba aja aku kenal kamu lebih dulu di banding kak Gwen. Pasti sekarang kita yang mau menikah.” Ucapnya sambil menggenggam tanganku.
          Aku hanya bisa tersenyum. Seandainya apa yang kak Radit ucapkan itu bisa menjadi kenyataan. Terbesit di benakku untuk merebut kak Radit dari kak Gwen. Tapi pikiran itu langsung ku buang jauh-jauh dari benakku. Sangat kejam kalau aku sampai melakukannya pada kak Gwen.

          Hari demi hari aku jalani dengan kak Radit yang sangat aku cintai. Aku merasa hari-hariku penuh warna denganya. Tapi semua itu berubah ketika menjelang hari pernikahan mereka. Kak Radit dan kak Gwen mulai sibuk dengan pernikahan mereka. Bahkan, kak Radit dan aku menjadi jarang bertemu. Egois memang jika aku marah dengan mereka. Tapi aku belum rela jika mereka menikah.

          Pada malam harinya, aku melihat kak Gwen mencoba gaun pernikahannya. Gaun warna putih yang sangat indah. Seandainya aku yang menggunakannya dan aku juga yang akan bersanding dengan kak Radit.
          “Kak aku boleh masuk?” Tanyaku.
          “Boleh. Ayo sini. Dek menurut kamu baju kakak bagus nggak?”
          “Bagus kok kak. Kakak juga kelihatan cantik banget.”
          “Kakak jadi nggak sabar nunggu. Pengen cepat-cepat menikah dengan orang yang kakak cintai dan memilikinya untuk selamanya. Tapi kakak jadi sedih harus pisah sama kamu. Nanti nggak ada yang cerewet lagi.” Katanya sambil menangis.
          “Tinggal tiga hari lagi kan Kak, sabar dong, bentar lagi. Kakak itu beruntung banget dapet kak Radit, jadi jangan sedih dong. Aku kan masih bisa main ke rumah kakak. Aku jadi ikut nangis kan, kakak sih.”
          Aku pun ikut mengangis. Aku menangis karena dua hal, yaitu karena aku akan berpisah dengan kak Gwen dan aku juga akan berpisah dengan kak Radit. Dua orang yang sangat aku sayangi. Mungkin memang mereka ditakdirkan untuk bersatu.

          Aku mengurung diri di kamar. Sakit rasanya melihat orang yang aku cintai menikah dengan orang lain. Aku hanya bisa menangis. Tiba-tiba aku sadar akan rasa egoisku selama ini dan juga pengkhianatanku terhadap kakakku sendiri. Tangisku pun terhenti, aku memutuskan menghubungi kak Radit untuk mengajaknya pergi besok.
          “Halo kak Radit, besok ketemuan yuk.” Kataku bersemangat.
          “Eh sayang, tumben kamu ngajak aku ketemu duluan. Ada apa nih?” Tanyanya heran.
          “Aku kan kangen banget sama kamu sayang. Tapi aku maunya kamu seharian penuh nemenin aku ya. Sekalian ada yang mau aku omongin.”
          “Iya sayang, aku juga kangen banget sama kamu. Iya deh, apa sih yang nggak buat kamu. Emang mau ngomong apa? Kok kayaknya serius banget?”
          “Tunggu aja besok. Udah dulu ya, udah malem nih. Dah sayang.”
          “Oke sayang.”

          Kututup pembicaraanku dengan kak Radit malam itu. Aku sudah memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengannya dan akan mengatakan padanya besok. Berat sekali rasanya, tapi memang cinta butuh pengorbanan.

          Keesokan harinya, aku bangun lebih pagi untuk bertemu dengan kak Radit. Aku ingin menjadikan hari ini menjadi hari yang spesial dan juga sebagai hari terakhirku menjadi pacar kak Radit.

          Kak Radit sudah menungguku di depan rumah. Aku pun langsung menghampirinya dan segera masuk ke mobilnya.
          “Selamat pagi sayang. Kita mau kemana sekarang?” Sapanya.
          “Kemana aja deh. Yang penting sama kamu.” Candaku.
          “Bisa aja kamu. Ya udah kita ke Mocca's Cup dulu terus jalan-jalan keliling kota ya.”
          “Boleh. Kak aku minta jadiin hari ini hari spesial kita ya.” Pintaku.
          “Oke sayang.”

          Kami jalan-jalan ke hampir semua tempat wisata di kota kami. Kami juga mengabadikan momen tersebut dengan berfoto bersama. Senang sekali rasanya, bisa menghabiskan waktu bersama kak Radit. Kami berjalan-jalan dari pagi hari hingga malam hari. Pada malam harinya, kami memutuskan untuk pergi ke taman dekat Mocca's Cup.
          “Capek banget nih kak.” Ucapku.
          “Aku sih nggak capek.” Jawabnya sambil tersenyum.
          “Yang bener? Kan kita habis keliling kota. Masa nggak capek?”
          “Nggak dong. Kan jalan-jalannya sama kamu, jadi nggak berasa capeknya. Haha”
          “Ih, gombal banget. Hahaha.” Kataku sambil tertawa.
         
Kami pun diam untuk beberapa saat. Lalu aku membuka pembicaraan.
          “Duh besok ada yang mau nikah ni.” Godaku.
          “Hmm. Quinn kamu nggak marah kan?”
          “Ya nggak lah. Ngapain aku marah. Aku nggak punya hak buat marah.” Ucapku sambil tersenyum.
          “Bener?”
          “Iya kak. Hmm.. kak Radit, kelihatannya lebih baik kita akhiri saja hubungan kita.”
          “Lho emang kenapa Quinn?”
          “Kita sudah terlalu jauh kak. Kakak juga akan menikah dengan kak Gwen kan besok. Aku tidak mau manyakiti kak Gwen lebih dalam lagi kak. Aku sudah terlalu jahat dengan kak Gwen. Aku bukan adik yang baik.” Tangisku.
          “Sudah Quinn kamu jangan menangis. Kakak yang salah, selama ini kakak terlalu egois. Kakak nggak mikirin perasaan kak Gwen. Kamu nggak salah kok.”
          Aku tidak menjawab, aku hanya menangis. Lalu kak Radit memelukku.
          “Aku sayang kak Radit.” Ucapku lirih.
          “Aku juga sayang kamu Quinn. Makasih buat semuanya ya.”
         
          Kak Radit mengantarku pulang. Sesampainya dirumah, aku langsung masuk ke kamar. Aku menangis tanpa henti. Jujur aku belum rela melepaskannya, menurutku dia sangat sempurna. Aku berjanji pada diriku sendiri, bahwa ini adalah hari terakhirku untuk menangisi kak Radit. Ya memang cinta tidak harus memiliki. Maka dari itu, aku akan mencoba untuk melupakan kak Radit dan merelakannya.

          Keesokan harinya, aku terbangun karena suara gaduh dari luar. Ya hari ini adalah hari pernikahan mereka. Aku pun segera membersihkan diri dan berdandan. Aku harus siap dengan apapun yang akan terjadi hari ini. Selesai berdandan, aku keluar dari kamar dan mulai membantu.
         
          Beberapa jam kemudian acara pernikahan mereka dimulai. Mereka pun mulai menyematkan cincin di jari pasangan mereka. Sebelum kak Radit menyematkan cincin di jari kak Gwen, dia melihat ke arahku. Aku pura-pura tidak melihat dan terus tersenyum. Dan resmilah mereka menjadi pasangan suami istri. Hatiku terasa seperti teriris. Tetapi aku berusaha untuk tegar dan merelakannya.

          Beberapa hari setelah pernikahan mereka, aku memutuskan untuk mengambil beasiswa di Jerman. Aku memilih tempat yang jauh dari mereka agar aku bisa melupakan kak Radit dan juga untuk menenangkan hatiku. Awalnya orang tuaku tidak mengizinkan karena menurut mereka Jerman terlalu jauh. Tapi setelah kubujuk, akhirnya aku diizinkan untuk kesana. Kak Radit mengetahui alasanku yang sebenarnya, maka dia berusaha untuk membujukku agar tetap disini. Namun aku beralasan lain dan selalu menghindar darinya. Aku berangkat ke Jerman dengan hati yang hancur dan aku berharap setelah aku kembali ke Indonesia, hatiku sudah pulih kembali.

          Sesampainya di Jerman, aku berharap memiliki kehidupan yang baru. Aku mempunyai teman laki-laki yang juga pelajar dari Indonesia disini, Rio namanya. Beberapa bulan kemudian aku dan Rio resmi menjadi sepasang kekasih. Dia adalah pria yang baik dan juga tampan, ada beberapa kemiripan yang dimiliki Rio yang sama dengan kak Radit. Tapi yang terpenting sekarang adalah aku sangat bahagia bersama Rio dan rencananya kami akan segera bertunangan. Akhirnya aku dan kak Radit sama-sama menemukan pendamping hidup yang kami cintai dan juga mencintai kami.

~SELESAI~



By : Almira Diva

Tidak ada komentar:

Posting Komentar